‘Aku Hanya Ingin Dikenang Sebagai Seorang Ibu’

Judul tulisan di atas sekaligus merupakan judul sebuah buku yang sampai detik ini amat mengenang dalam ingatan saya. Buku itu ditulis oleh seorang perempuan, seorang ibu, yang mungkin tidak banyak orang di Indonesia ini mengetahui beliau. Sosok ibu itu bernama Anna Rohim. Apakah teman-teman pernah mengenal namanya barang sekali saja? Boleh jadi ini kali pertama teman-teman mengetahui namanya. Tapi bagaimana kalau saya munculkan sebuah nama: Ary Ginanjar Agustian. Tentu hampir seantero Indonesia raya mengenal beliau. Nah, sosok sefenomenal Bapak Ary Ginanjar itu lahir dari rahim seorang ibu bernama, Anna Rohim.

Pertama kali saya membaca buku ‘Aku Hanya Ingin Dikenang Sebagai Seorang Ibu’ adalah ketika anak pertama saya berusia 10 bulan. Sepertinya itu sudah lebih dari 9 tahun yang lalu, karena kini anak sulung saya sudah hampir berusia 10 tahun dalam beberapa hari ke depan, Insha Allah. Buku ini merupakan buku pengasuhan yang pertama kali saya baca dan selalu membuat saya rindu untuk membuka-bukanya dan membaca beberapa potong paragraf di dalamnya.

Saya merasa bahwa tulisan Bu Anna Rohim sangat dekat dengan keseharian saya dan amat mudah dipahami. Hampir seluruh isi buku tidak menampilkan teori-teori pengasuhan yang kadang kala agak too good to be true buat saya. Seisi buku ‘Aku Hanya Ingin Dikenang Sebagai Seorang Ibu’ menceritakan perjalanan Bu Anna Rohim mulai dari pelaminan hingga membesarkan keempat putra dan putri beliau. Namun, justru dari situlah buku tersebut menjada terasa dekat sekali dengan keseharian saya sebagai ibu rumah tangga, yang saat itu masih sangat gagap urusan pengasuhan.

Banyak sekali petikan-petikan kisah pengasuhan Bu Anna Rohim tentang pengasuhan beliau terhadap anak-anaknya. Salah satu yang sampai saat ini teringat dalam pikiran saya adalah tentang Bapak Ary Ginanjar yang nakal luar biasa semasa SMA, sehingga Bu Anna Rohim harus berkali-kali dipanggil ke sekolah karena beberapa kasus. Tapi jika saat ini kita melihat sosok Bapak Ary Ginanjar, pernahkah terlintas di dalam benak kita, bahwa dulu ibunda beliau pernah hampir menyerah mengasuh beliau?

Dari potongan kisah itulah, ketika dalam keseharian saya mengasuh anak-anak dan mendapati tingkah perilaku mereka yang menurut saya ‘ajaib’, saya selalu teringat tentang masa SMA Bapak Ary Ginanjar. Bisa jadi anak-anak saya bertingkah ‘ajaib’ bukan karena mereka nakal, aneh, atau membangkang; melainkan karena Allah mau menambah pahala kebaikan saya karena telah bersabar dalam pengasuhan mereka. Sehingga ketika Allah kelak berkehendak menempatkan saya di surga-Nya, maka saya memang sudah Allah anggap pantas dan layak, selain tentu karena rahmat-Nya.

Sebagaimana kutipan tulisan Bu Anna Rohim dalam bukunya: ‘Kami yakin, apa yang kami lakukan tidak terlepas dari kehendak Allah. Kalaupun ada peran positif kami di dalam mendidik dan membesarkan anak-anak, itu pun tidak terlepas dari bimbingan Yang Maha Kuasa.’ Ya, kita tidak pernah bisa mendidik dan mengasuh anak-anak sendirian, hanya mengandalkan teori apapun dan pikiran kita sendiri saja. Sejatinya, proses pengasuhan itu butuh pengakuan kita akan kelamahan-kelemahan kita sebagai hamba. Sehingga hal itulah yang membuat kita selalu bersimpuh dan memohon bimbingan kepada Allah, atas amanah-amanah yang telah Dia perkenankan hadir dalam kehidupan kita.

Be the first to reply

Leave a Reply

Your email address will not be published.