Me Time-nya Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu rumah tangga, seperti yang sudah kita ketahui bersama, menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam rumah. Bahkan bisa dibilang, hampir 24 jam dia berada di dalam rumah, kecuali jika ada keperluan membeli kebutuhan rumah tangga atau mengantar jemput anak. Saya pribadi mengamini pendapat ini, karena memang begitulah yang saya jalani sehari-hari. Kecuali ketika weekend, ya! Karena ada kemungkinan saya ke luar rumah untuk mengunjungi mertua atau hanya hang out bersama anak-anak dan suami.

Kondisi seakan stuck di dalam rumah seperti ini, belum tentu bersahabat untuk seluruh perempuan. Ada kalanya sebagian perempuan yang justru merasa terpenjara dan terkungkung at the time statusnya berubah menjadi ibu rumah tangga. Honestly, saya pribadi pernah mengalaminya dan itu bukanlah hal yang mudah bagi diri saya, anak-anak, pun untuk suami.

Saya ingat sekali ketika kami masih tinggal di daerah Cipondoh, Tangerang; hampir setiap hari saya mengeluhkan tidak memiliki me time kepada suami. Saya merasa waktu saya benar-benar habis untuk keperluan mengurus rumah tangga, membersamai anak-anak, dan malam harus melayani suami. Walaupun pada faktanya, tidak setiap malam juga suami saya minta dilayani. Hehehe. Namun jujur saja, kondisi seperti ini, amat sangat membuat saya shock. Ditambah lagi, pernikahan kami belum genap berumur lima tahun dan sudah memiliki dua orang balita. Anak pertama kami berusia tiga tahun dan anak kedua kami berusia satu tahun. Plus, kami tidak memiliki pembantu dan itu merupakan pengalaman pertama saya tinggal jauh dari orang tua atau siapa pun yang bisa saya mintai tolong untuk ikut menjaga anak-anak dalam keseharian. Tidak sampai di situ tantangan yang saya rasakan. Ada juga tantangan lain dari dalam diri saya terkait peran sebagai ibu rumah tangga ini, yaitu: merasa kurang ilmu dalam menjalani peran sebagai istri, ibu, dan diri sendiri. Belum lagi pergolakan batin dengan berbagai memori innerchild yang mendobrak-dobrak di dalam diri saya, sehingga tak dapat dipungkiri, hal itu menjadi kendala lumayan besar dalam proses pengasuhan saya kepada anak-anak. Singkat kata, saya stress dan membutuhkan me time.

Saya ingat ketika keinginan untuk me time itu begitu besar, hingga mengalahkan rasa keibuan saya untuk tetap berada di rumah. Hingga kemudian saya mengultimatum suami melalui WA di hari kerja, “Pokoknya weekend besok, gue mau pergi sendirian ke Bale Kota! (red: nama mall di dekat rumah kami) Benar-benar sendirian! Anak-anak lo jagaian, sampe gue puas sendirian! Gue mau me time!” Dan benar saja, saat weekend tiba, sekitar jam 10 pagi saya berangkat naik Gojek menuju Mall Bale Kota yang sebelumnya sudah saya sebut-sebut untuk saya kunjungi. Tidak lupa saya menggembelok laptop dan berniat mau sendirian saja hari itu, tanpa hiruk pikuk urusan rumah tangga, kehebohan anak-anak, dan gelendotan suami. (Iya, suami saya senang banget gelendotan sama saya di hari liburnya; yang pada akhirnya saya sadari dan syukuri bahwa artinya saya merupakan tempat ternyaman baginya. Masha Allah Tabarakallah.)

Ketika keinginan me time itu terwujud, lalu apa yang saya lakukan di Mall Bale Kota dan berapa lama saya bertahan? Seriously, saya hanya duduk-duduk saja di kedai minuman kopi boba yang ada di sana, membuka laptop saya sambil berharap bisa mencurahkan segala pikiran saya ke dalamnya, dan beberapa kali mengirim WA ke suami untuk menanyakan keadaan di rumah. Selesai minuman saya habis, kemudian saya hanya window shopping di mall tersebut dan membeli beberapa barang, yang lagi-lagi merupakan kebutuhan anak-anak dan suami. Saat itu, saya merasa menang dan puas sekali, karena bisa keluar dari rumah dan terbebas dari keriwehan rumah tangga, anak-anak, dan suami. Sekitar pukul empat sore, akhirnya saya pulang ke rumah. Sesaat saya merasa pikiran saya fresh sekali. Saya pikir, kesibukan dan kehebohan rumah tangga yang esok-esok hari akan terjadi, pasti bisa saya hadapi dengan lebih jernih karena saya sudah mendapatkan me time saya. Tapi apa yang terjadi kemudian? Hampir tidak ada bedanya, kalau tidak mau menyebutnya semakin buruk karena saya merasa capek secara fisik setelah berjalan-jalan di mall pada hari sebelumnya.

Dari kejadian itu saya berpikir dan banyak melakukan look in pada diri saya. Apa yang sebenarnya saya butuhkan untuk diri saya sendiri? Bagaimana seharusnya saya memaknai keahagiaan dalam konteks peran saya saat ini? Keberadaan saya di rumah sebagai ibu rumah tangga, sebenarnya untuk apa? Dan kenapa kok bisa; di satu sisi saya mau menjadi ibu rumah tangga, tapi di sisi lain, saya seperti mengutuk aktivitas harian saya? Saya sadar, keadaan tersebut tidak boleh berlarut-larut. Karena bukan hanya saya yang mungkin menjadi tidak bahagia, tapi saya bisa jadi merenggut kebahagiaan orang-orang di sekitar saya. Na’udzubillahi min dzalik.

Alhamdulillah, Allah begitu baik pada setiap hamba-Nya, tak peduli sudah sebanyak apa hamba itu kufur pada nikmat-Nya. Entah bagaimana awalnya, pun saya lupa waktu kejadiannya, yang pasti kemudian saya mendaftarkan diri ke Kelas Matrikulasi Institut Ibu Profesional. Kemudian berlanjut ke Kelas Bunda Sayang, lalu sempat vakum selama lebih dari dua tahun karena kelas lanjutannya belum siap, hingga akhirnya saya menuntaskan Kelas Bunda Cekatan (gamifikasi Metamorfosa Kupu-Kupu), Bunda Produktif (gamifikasi Hexagon City), sampai Bunda Saliha (gamifikasi Kampus Ibu Pembaharu). Dari semua materi dalam kelas-kelas tersebut, atas izin Allah, telah banyak membangun diri saya dari dalam. Saya menjadi lebih memaknai setiap peran dan situasi yang terjadi pada saya saat ini. Saya menjadi lebih bahagia sebagai diri saya, dengan peran seorang ibu rumah tangga beranak tiga, juga pelaku homeschooling, yang alhamdulillah secara sadar memutuskan untuk tidak memiliki ART jika saya tidak hamil.

Pesan guru kehidupan saya, yaitu Bu Septi Peni Wulandani dalam salah satu materi beliau, begini: ada tiga sudut pandang perempuan tentang rumah. Pertama, rumah merupakan tempat belajar bagi perempuan dengan rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga bisa membawanya pada kreativitas dan imajinasi jika dirinya memahami learn how to learn. Kedua, rumah merupakan tempat bertumbuh bagi perempuan yang fokus pada perkembangan dirinya dulu dan sekarang.  Ketiga, rumah merupakan tempat berkarya, sehingga meskipun dari rumah, perempuan tetap berdaya dan mengaktualisasikan dirinya dengan penuh martabat menyelesaikan tantangan di sekitarnya.

Sekarang saya lebih bisa memaknai me time. Saya tidak perlu keluar rumah sendirian dan menghabiskan banyak biaya, atau hang out bersama teman-teman semasa muda dan seakan terbebas dari tanggung jawab peran saat ini. Saya tetap berada di dalam rumah saya, bertanggung jawab penuh dengan berkesadaran terkait peran saya saat ini, juga selalu waras dengan me time yang terpuaskan. Alhamdulillah. Lalu bagaimana saya melakukan me time sebagai ibu rumah tangga? Yang paling istimewa adalah bangun di sepertiga malam. Setelah solat malam, saya membaca buku atau hanya menuliskan berbagai pikiran saya di tengah keheningan malam, terbebas dari hiruk pikuk suara anak-anak. Jika ini tidak kesampaian, maka me time saya cukup dengan membaca beberapa lembar buku dari koleksi pribadi di pagi hari. Atau jika ini pun belum bisa, maka me time saya cukup dengan membaca kitab suci yang memang rutin saya lakukan setiap hari. Dan yang paliiing sederhana dari me time saya adalah, menghabiskan makan dengan tenang dan menikmati setiap rasa yang hadir di dalam mulut saya. Masha Allah Tabarakallah.

Be the first to reply

Leave a Reply

Your email address will not be published.