Akhir pekan lalu, tepatnya di hari Ahad, kami sekeluarga berkunjung ke rumah tante dan nenek saya. Sebenarnya tujuan kami adalah untuk menjenguk nenek saya, yang sejak keluar dari RS pertengahan Januari lalu, belum sempat kami kunjungi kembali. Namun, karena rumah tante saya yang sejak beberapa bulan lalu mulai dibangun tepat di depan rumah nenek saya dan ternyata kemarin sudah tahap finishing, jadilah kami sekalian menengoknya. Tentulah ini merupakan bagian dari membahagiakan sesama muslim, apalagi muslim tersebut merupakan keluarga dekat kami.
Kesan pertama yang saya dapatkan dari rumah tersebut adalah lega dan rapih, meskipun luas tanahnya tidak seberapa, hanya sekitar 60 meter persegi. Bentuk tanahnya seperti huruf V, yaitu luas di bagian depan dan menyempit di belakang. Sehingga ketika dibangun rumah di atasnya, maka rumahnya pun berbentuk mengikuti tanahnya. Bangunan itu terdiri dari dua lantai, dengan desain ruang lantai satu yang sama persis dengan desain lantai dua. Pokoknya yang terbersit di kepala saya pada waktu itu, pasti orang tidak ada yang menduga kalau tanah rumah ini hanya sebesar 60 meter.
Sesaat kemudian saya memasuki rumah nenek saya yang ada persis di depan rumah tante saya itu. Kemduian pertanyaan pertama yang nenek saya lontarkan adalah, “Bagus apa jelek rumahnya?” Mendengar pertanyaan itu, saya dan suami langsung menjawab, “Bagus kok, keliatan lega. Emang kenapa, Nek?” Kemudian nenek saya langsung bercerita, “Masa kata Si X (dengan menyebut nama salah satu keluarga kami yang lain), rumahnya kayak kardus ditumpuk! Katanya jelek, nggak ada modelnya, bener-bener kayak kardus, kotak-kotak doang!” Mendengar curhatan nenek seperti itu, saya dan suami berpandang-pandangan. Dalam pikiran kami masing-masing, tentu kami membayangkan orang yang disebut oleh nenek sambil mengingat-ingat kepribadiannya. Akhirnya saya berkata, “Nggak usah dipikirin omongan dia, nek. Nanti nenek sakit lagi. Itu rumahnya bagus, kok. Beneran bagus, deh. Orang yang bicara seperti itu, karena dia sebenarnya nggak punya kelebihan untuk ditunjukkan. Akhirnya, dia mencari cara untuk menjatuhkan orang lain. Sudahlah, biarin, aja! Yang ngomong begitu juga belum punya rumah, kok! Anggap aja dia lagi julid!” Seketika itu saya melihat senyum mengembang di wajah nenek dan tante saya.
Well… tulisan ini sebenarnya tidak ada maksud untuk membicarakan keburukan orang lain. Wong keburukan saya sendiri saja masih berlimpah ruah, kok! Masa saya berani menganggap diri saya lebih dari pada orang lain? Tidak, tidak, bukan itu. Tulisan ini sebenarnya sebagai muhasabah untuk diri saya sendiri, sekaligus tamparan keras di wajah saya.
Jujur saja, saya sangat menjunjung tinggi hormat kepada orang tua. Itu karena saya tahu sekali rasanya tidak enak jika anak-anak saya bertingkah kurang santun terhadap saya. Perilaku yang dilakukan Si Julid itu kepada tante dan nenek saya, berada di luar koridor kesopanan dan kesantunan yang saya pahami. Wajar, jika hal ini di satu sisi membuat saya merasa kesal. Tapi di sisi lain, kejadian ini pun membuat saya berkaca diri, jangan-jangan peran Si Julid itu pernah secara tidak sadar saya lakukan sendiri! Misalnya begini, ketika melihat ibu lain bisa melakukan hal-hal lebih produktif dibandingkan saya, padahal kondisi kami sesama IRT, di situ pernah berkeliaran berbagai penolakan dalam pikiran saya. Ah, dia bisa begitu kan, karena anaknya baru satu. Ah, dia kan punya ART, jadi nggak perlu repot sama urusan domestik; terus mau makan juga langsung GoFood. Ah, dia kan lingkungan rumahnya nyama kayak di luar negeri. Ah, dia kan begini, dia kan begitu, dia kan bla bla bla… Pokoknya akan keluar berbagai penolakan dalam kepala saya yang merupakan ke-julid-an saya terhadap orang tersebut.
Berkaca dari perilaku Si Julid yang saya ceritakan di atas, saya jadi semakin menyadari. Ketika ada orang lain yang diberikan Allah kebaikan lebih dari saya, lalu saya ingin mengumpati kebaikannya tersebut, itu sama halnya dengan saya melakukan hal serupa kepada Sang Pemilik Kekuasaan, Allahu Rabbi. Bukan hanya itu, umpatan atau ke-julid-an yang saya lontarkan tersebut, sama halnya pengakuan ke dalam diri saya, bahwa saya lebih rendah dari pada orang itu. Padahal kalau saya mau lebih menyadari, sampai kapan pun, akan selalu ada orang yang lebih baik atau lebih sukses dari saya. Ketika tujuan saya adalah menjadi yang terbaik dan tersukses dibandingkan siapa pun, maka itu merupakan perjalanan melelahkan yang tiada ujungnya. Lalu satu hal yang paling menyakitkan adalah ketika tujuan kesuksesan kita bukanlah dalam penilaian Allah ‘azza wa jalla, maka sia-sialah segala yang kita lakukan di dunia ini. Na’udzubillahi min dzalik.
Be the first to reply