
Jika berbicara tentang rumah tangga, dalam benakku tak pernah terlepas dari istilah ‘Ibu rumah tangga’. Mungkin biasa saja bagi orang lain, atau mungkin sepele, bahkan bisa jadi istilah ini tak bernilai apa-apa di telinga mereka. Ah, hanya ibu rumah tangga, di rumah saja, pengangguran, tak berpenghasilan, bahkan bisanya hanya menghabiskan uang suami. Yah, meski tak seutuhnya benar sih, penilaian seperti ini. Nyatanya, sampai saat ini penilaian demikian masih mengakar di masyarakat.
Berbicara tentang ‘ibu rumah tangga’, sesungguhnya istilah ini memiliki makna dan kesan yang begitu kuat dalam diriku. Istilah ini membawaku kembali pada ingatan masa kecilku, sekitar lebih dari 20 tahun lalu. Dulu, ketika aku kelas 3 SD, ada seorang teman lelaki yang kulihat berbeda dari yang lain. Jika saat istirahat sebagian besar dari kami pergi ke kantin untuk membeli makanan, temanku ini hanya diam di kelas. Waktu istirahatnya digunakan untuk menggambar, karena memang hobinya menggambar, sambil ia memakan kudapan yang sudah disiapkan oleh ibunya. Enam hari kami bersekolah dalam sepekan dan enam hari itu pula temanku ini selalu dibawakan bekal oleh ibunya. Sempat aku bertanya, “Kamu kok dibawain makanan terus sih, sama mamamu? Memangnya dia nggak kerja?” Lalu temanku menjawab, “Mamaku nggak kerja, kok. Dia ibu rumah tangga.”
Ada lagi cerita lainnya. Seorang sahabat perempuanku, jika datang ke sekolah di pagi hari, dia selalu bercerita tentang kegiatannya di rumah bersama ibunya. “Kemarin aku pulang dari sekolah langsung ke Hero beli penghapus wangi, lho.” Begitu katanya padaku di suatu pagi. Lalu di pagi lainnya dia bilang, “Eh kamu pernah nggak diajak masak sama mama kamu? Aku kemarin bikin kue bolu sama mamaku.” Entah berapa kali pagi temanku ini menceritakan tentang kegiatannya bersama ibunya selepas sekolah. Mendengar itu semua, aku diam-diam menyimpan rasa kagum kepada ‘ibu rumah tangga’, sambil berucap dalam hati, sungguh beruntung kalian, teman. Seandainya aku bisa merasakan yang kalian rasakan. Atau mungkinkah aku bisa menjadi ibu seperti ibu-ibu kalian?
Waktu berlalu, hingga aku kuliah dan banyak terlibat dengan dinamika kampus. Istilah ‘ibu rumah tangga’ seakan menguap dari benakku. Satu hal yang kupikirkan saat itu, ijazah kesarjanaanku harus bisa membawaku menjadi wanita karier. Ijazah itu harus bisa membuatku bekerja penuh waktu, dari pagi hingga sore, atau mungkin malam, di sebuah perusahaan yang ternama. Ya, wanita karier itu hebat. Dia tidak bergantung pada seseorang pun. Dia bisa fokus bekerja di kantor, menghasilkan uang sendiri untuk kebutuhannya—atau mungkin keluarganya—lalu pulang ke rumah dan tetap bisa bertemu pada anaknya. Perempuan mana yang tak menginginkan kesempurnaan seperti ini?
Perempuan yang menyadari bahwa perannya menjadi seorang ibu rumah tangga lebih penting dari pada seorang wanita karier.
Perempuan yang menyadari bahwa perannya menjadi wanita karier bisa digantikan oleh orang lain, sedangkan perannya sebagai pendidik dan pengasuh anak-anaknya adalah mutlak.
Perempuan yang menunda sementara mimpi-mimpinya di dunia, demi mendapatkan mimpinya di surga-Nya kelak, Insha Allah.
Perempuan yang berusaha menjalankan perintah Rabbnya untuk berdiam di dalam rumahnya, meskipun bisa jadi, jiwa dan raganya penat. Meskipun bisa jadi, hasrat duniawinya memberontak. Meskipun bisa jadi, dia harus banyak menunda mimpi-mimpi idelismenya terwujud.
Dan pada perputaran waktu yang tak kusangka, ternyata aku-lah perempuan itu. Aku-lah perempuan yang meninggalkan kesempurnaan sebagai wanita karier; lalu menukarnya dengan kenikmatan sebagai ibu rumah tangga. Masha Allah Tabaarakallah.
Ibu, engkau begitu mahal dan agung. Engkau adalah kekasih Allah. Engkau mempunyai kedudukan yang luhur di sisi Allah, sejak engkau meraih predikat Ibu.
Ibu, engkaulah gelar termahal dan teragung di dunia. Ibu, engkau telah menjadi barometer penunjuk bagi rahmat dan kasih sayang Allah. Inilah alasan doamu selalu dikabulkan, wahai Ibu.
Ibu, begitu mahal nilaimu di sisi Allah. Sudah tahukah kau, bahwa Rasulullah pernah mengatakan, pahala dalam mendidik anak-anakmu setara dengan pahala orang yang puasa sekaligus menjalankan qiyamullail?
Ibu, kesibukan dan kepenatanmu di dalam rumah tangga hanya sebentar… hanyaaa sebentar. Maka nikmatilah, wahai Ibu. Maka berbahagialah wahai Ibu dalam rumah tanggamu. Nanti, akan ada waktunya kau akan begitu rindu dengan keriuhan dan kerepotan saat ini.
Ibu, jika orang lain di luar sana kau lihat begitu tersohor dalam karier mereka. Maka jadikanlah anak-anakmu sebagai karya terindah dalam kariermu di hadapan Ilahi Rabbi. Jadikanlah suamimu sebagai penentu apakah Rabbmu berkenan memberikan surganya, atau malah memurkaimu dalam nerakanya. Jadikanlah rumahmu sebagai kantor ternyaman dan terbaikmu di dunia ini, wahai Ibu.
Ibu, hal-hal besar lainnya bisa menunggu waktu senggangmu. Tetapi keberadaanmu sepenuh jiwa dan raga, sepenuh bahagia dan antusiasme bagi suami dan anak-anakmu, tak kan pernah bisa menunggu, wahai Ibu.
#oneweekonewriting
#kelasminatmenulis
#ibuprofesionaldepk
Be the first to reply