Ibu yang Beruntung

Dahulu, mungkin lima puluh ribu tahun sebelum alam semesta diciptakan, saya tak pernah tahu, apalagi ingat, tentang keberadaan saya. Pun, saya tak tahu bagaimana saya akan dilahirkan, dititipkan kepada rahim siapa, dan bagaimana jadinya kehidupan saya kelak. Semuanya terjadi begitu saja sesuai kehendak Allah, tanpa pernah saya meminta, apalagi memilih siapa-siapa saja yang kemudian akan menjadi orang tua saya, teman-teman saya, pasangan hidup saya, bahkan anak-cucu saya nantinya. Semuanya sudah ditentukan! Sudah tertulis secara rinci, detil demi detil, pada sebuah kitab yang terjaga bernama lauhul mahfuz.

Begitu pula lah ketika Allah meniupkan ruh ke dalam rahim saya dan kemudian menjadi anak pertama saya, Kakak. Dia tidak pernah meminta untuk ditempatkan di rahim saya! Jikalau dia bisa memilih, mungkin saya bukanlah seseorang yang dipilihnya pada urutan pertama. Atau bahkan, bisa jadi tidak ada nama saya yang menjadi pilihan calon ibundanya kelak. Namun qodarullah, dia dititipkan di rahim saya, tumbuh dan berkembang di dalamnya hingga siap dilahirkan ke dunia. Hingga kini, kebersamaan kami di dunia sudah lebih dari tujuh tahun.

Saya bahagia sekali ketika mengetahui tentang kehamilan saya. Apalagi saat itu suami tercinta menyambut dengan pelukan yang nyaman dan penuh kegembiraan. Rasanya, saya lah perempuan paling beruntung saat itu.

Waktu berjalan sangat cepat dan kehamilan saya semakin besar. Masha Allah. Tak pernah ada keluhan berarti saat saya hamil si Kakak. Jika perempuan lain merasakan mual muntah di awal-awal kehamilan, saya tidak sama sekali. Jika perempuan lain merasakan ngidam ini itu yang sulit ditemukan, saya tidak sama sekali. Semua normal-normal saja, kecuali nafsu makan yang semakin meningkat.

Kemudian sembilan bulan berlalu dan tibalah saatnya saya melahirkan. Saya bahagia sekali karena akhirnya bisa bertemu dengan manusia mungil yang selama sembilan bulan hidup di dalam diri saya. Kesakitan yang dahsyat karena proses induksi pun semuanya sirna ketika saya melihat Kakak untuk pertama kalinya. Kelelahan yang berangsur-angsur meningkat sejak usia kehamilan tujuh bulan, seketika itu saja terlupakan. Bahkan stretch mark yang timbul di berbagai tempat di tubuh saya, ditambah tumpukan lemak yang datang tak diundang pun, seketika itu bukanlah menjadi masalah bagi saya. Semuanya sirna ditelan besarnya kebahagiaan karena kehadiran Kakak dalam kehidupan saya.

Awalnya saya pikir, kebahagiaan yang membuncah di hari kelahiran Kakak akan seterusnya demikian. Ah, rupanya saya salah. Menjadi seorang ibu rupanya bukan hanya berisi kebahagiaan, tapi juga rasa khawatir yang terkadang lebay saat anak-anak sakit; atau rasa minder yang tiba-tiba muncul saat perkembangan anak-anak nampaknya tak sebagus dan semulus anak seusianya. Ah, belum lagi rasa kesal yang membabi buta hanya karena anak-anak yang sulit tidur malam. Atau mungkin rasa marah saat mereka berulang-ulang kali memberantakkan rumah yang sudah susah payah kita rapikan. Atau bahkan parahnya, rasa marah yang tak terkendali saat mereka tak menggubris omongan kita, hingga akhirnya terjadilah teguran fisik pada mereka, entah pukul, cubit, jewer, atau lainnya. Hhh…. rupanya seringkali saya lupa dengan rasa bahagia saat kehadiran Kakak dalam kehidupan saya.

Tapi kemudian saya teringat, bukankah Kakak tak pernah meminta saya menjadi ibunya?? Bukankah jika ia bisa memilih, bisa jadi ia tak akan memilih saya sebagai ibunya?? Bukankah jika Allah tak menghadirkannya dalam kehidupan saya, mungkin saat ini saya tak akan se-lebih baik ini?? Lalu sebenarnya siapa yang beruntung?? Saya yang memiliki anak seperti Kakak, atau Kakak yang memiliki bunda seperti saya??

Saya teringat ketika Kakak harus mengalami ikterus di awal-awal kehidupannya, saya panik sekali. Lalu saat itu saya mulai mempelajari tentang hyperbillirubin dari A sampai Z. Kemudian ketika ikterus selanjutnya berulang pada anak kedua dan ketiga, saya tak langsung panik. Karena Kakak sudah membuat saya belajar sebelumnya.

Lalu di usia Kakak sekitar 3 tahun, saat kemampuan komunikasinya semakin baik tetapi logikanya belum mumpuni, di situlah saya belajar tentang Komunikasi Baik, Benar dan Menyenangkan (KBBM) dari YKBH, yayasan yang dulunya dipimpin oleh Bu Elly Risman. Alhasil, kemampuan komunikasi saya saat ini mengalami perbaikan dari sebelumnya, baik saat saya berkomunikasi dengan anak-anak, suami, maupun orang lain.

Kemudian saat Kakak berusia sekitar 4 tahun, yaitu usia anak yang biasanya dimasukkan ke TK oleh orang tua mereka, saya memilih untuk mengajarkan sendiri anak saya. Saat itulah saya berkenalan dengan metode Montessori dan masih jatuh cinta sampai saat ini; terlepas apakah metode tersebut berasal dari tokoh Islam atau bukan.

Ah… rasanya jika saya terus mengingat tentang berapa kali Kakak sudah ‘memaksa’ saya terus belajar selama ini, mungkin masih ada ribuan kata lagi yang harus saya tulis. Satu hal yang pasti, Allah ingin memperbaiki kehidupan saya dan kepribadian saya dengan hadirnya Kakak dalam kehidupan saya. Allah ingin membuat saya terus belajar dengan menghadirkan anak-anak dalam kehidupan saya. Anak-anak yang tingkahnya seringkali membahagiakan saya, namun tak jarang juga membuat saya merengut. Memang, belajar itu seharusnya sepanjang hayat, bukan hanya pada jenjang-jenjang pendidikan yang sudah terstruktur saja.

Saat ini, saya bersyukur sekali, karena sesungguhnya saya lah yang beruntung dengan kehadiran Kakak. Dia hadir dengan begitu banyak kebaikan dari Allah. Rasanya, seharusnya saya lebih jeli melihat kelebihannya; bukannya hanya menuntut kesempurnaan dari kekurangannya. Rasanya, seharusnya saya lebih banyak mengingat kebaikannya; bukannya lebih sering memperingatkan keburukannya. Rasanya, seharusnya saya lebih banyak mencatat perbuatan positifnya; bukannya malah menghapal perbuatan negatifnya. Astaghfirulloh…

Jika kita tak sering melihat ke dalam diri kita, sepertinya para anak sulung itu selalu saja ada kekurangannya. Padahal sebenarnya, merekalah yang pertama kali Allah hadirkan untuk mendidik kita, bahkan sejak sebelum kehadirannya di dunia. Merekalah yang pertama kali membuat kita merasakan kehamilan dan melahirkan, juga pertama kali membuat kita berpredikat, ibu. Sayangnya, mereka juga yang pertama kali merasakan dan harus menanggung kebodohan dan kealpaan kita sebagai seorang ibu.

Hhh… maafkan bunda, ya, Kak. Maafkan bunda atas semua kealpaan, kelalaian, dan kebodohan bunda selama ini. Bunda janji, bahwa bunda akan selalu memperbaiki diri untuk kebaikan Kakak, Mas, dan Adik. Bunda akan selalu belajar untuk kebaikan kita semua dan kebersamaan kita kelak di surga-Nya Allah, Insha Allah. Amiin.

#oneweekonewriting

#kelasminatmenulis

#ibuprofesionaldepok

#bundamenulis

#ceritabunda

2 thoughts on “Ibu yang Beruntung

Leave a Reply

Your email address will not be published.