Homeschooling? Homeschooling.

Bismillah.

Bukan satu, dua, atau tiga kali saya mendapatkan respon “Homeschooling?”, saat orang lain mendengar jawaban saya tentang metode pendidikan dasar yang saya (dan suami) pilih untuk anak-anak kami. Biasanya respon tersebut disertai dengan mata agak sedikit terbelalak, plus dengan dahi mengeryit. Hehehe. (Akhirnya) Itu menjadi hal yang biasa saya hadapi. 🙂

Lantas sebenarnya, apa sih alasan kami memilih jalur homeschooling atau pendidikan rumah untuk anak-anak kami?

Well, sebenarnya banyaaaak sekali alasannya. Sebelum saya menyebutkan alasan-alasan tersebut satu per satu, izinkan saya untuk sedikit bercerita tentang perkenalan saya dengan istilah homeschooling.

Dulu, ketika anak sulung saya (Abang J) berusia sekitar 13 bulan, saya mengikuti webinar dari Rumah Inspirasi yang dibawakan oleh Mas Aar dan Mbak Lala. Saat itu webinar tersebut bertajuk: Homeschooling Anak Usia Dini. Saya, yang saat itu adalah ibu muda dengan kehausan belajar yang amat sangat menggelora, ditambah jiwa kompetetitif sebagai emak-emak yang anaknya tidak mau dikalahkan sama anak lain, akhirnya memutuskan untuk mengikuti webinar tersebut. Dari situlah saya mengenal istilah homeschooling dan aplikasinya dalam kehidupan anak-anak. Dan sesaat itulah saya memutuskan untuk menempuh jalur homeschooling untuk Abang J.

Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, tidak pernah sekalipun menyurutkan semangat saya untuk meng-HS-kan anak-anak saya. Bahkan ketika Mas H lahir pun (red: antara Abang J dan Mas H berjarak 2 tahun 3 bulan), saya masih berniat untuk meng-HS-kan mereka. Alhamdulillah, niat dan semangat tersebut masih membara sampai saat ini. Masha Allah, Tabarakallah.

Lalu, tidak pernahkah ragu? Mmm.. sejujurnya, saya sempat beberapa kali ragu untuk meng-HS-kan Abang J, tetapi masih berniat untuk meng-HS-kan Mas H. Alasannya adalah, saya merasa kewalahan sekali meredakan emosi Abang J ketika dia marah, atau saya merasa tidak sabar sekali menjawabi segala ocehannya saat kami beradu argumen. Sempat beberapa kali, saya merasa hopeless dan berpikir untuk, sudahlah, serahkan saja Abang J ke lembaga pendidikan. Mungkin guru-guru di sana lebih bisa menghadapi Abang J dari pada saya, ibunya.

Sempat beberapa waktu saya merasa galau antara HS atau sekolah formal. Bahkan saya sempat bertanya pada beberapa teman tentang rekomendasi beberapa sekolah formal. Namun, entah kenapa, di saat-saat tergalau itu pun, saya masih merasa sanggup (entah ke-pede-an atau memang yakin), untuk mendidik dan mengajarkan sendiri anak-anak saya. Apalagi ditambah dengan maraknya pemberitaan negatif mengenai pergaulan anak-anak di zaman ini, atau kejahatan yang mengintai mereka, atau pemberitaan mengenai oknum guru yang tidak capable menangani anak-anak.

Dalam kondisi tersebut, saya tersadar: semua yang terjadi pada Abang J, itu adalah kesalahan saya. Mungkin memang tidak sepenuhnya dan seutuhnya kesalahan saya, tetapi sebagian besar pasti dipengaruhi oleh saya. Itu karena hampir 24 jam keseharian Abang J adalah bersama saya. Lalu jika begini keadaannya, apakah saya akan menyerah begitu saja dan seenaknya memberikan Abang J kepada orang lain untuk ‘diperbaiki’? Iya, kalau memang orang lain benar-benar bisa ‘memperbaiki’ Abang J. Bagaimana jika orang lain itu justru memperparah keadaaan? Belum lagi pergaulan dengan anak-anak yang saya tidak mengenal baik orang tua mereka dan bagaimana mereka diasuh? Bukankah sebaiknya saya memperbaiki diri saya sedikit demi sedikit, memperbaiki ibadah saya, lalu banyak bedoa memohon petunjuk Allah agar Abang J bisa berubah?

Pikiran-pikiran demikian kian memenuhi pikiran saya. Sampai akhirnya, tibalah saya pada suatu kesimpulan: Baik, saya akan bawa Abang J ke psikolog untuk melakukan Tes Kematangan Sekolah (TKS). Lalu hasilnya nanti yang akan menjadi pertimbangan saya dan suami untuk mengambil langkah selanjutnya.

Singkat cerita, Abang J melakukan TKS dan kami pun melakukan konsultasi tentang hasil TKS tersebut. Hasilnya adalah: beberapa perkembangan emosional dan kognitif Abang J belum berkembang optimal, ditambah kemampuan motorik halusnya yang masih harus di catch up. Kesimpulannya, Abang J boleh sekolah formal jika di sekolah alam, atau homeschooling. Hal ini mengingat juga bahwa gaya belajar Abang J adalah audio-kinestetik.

Mendengar penjelasan psikolog yang seperti itu, akhirnya saya merasa semakin yakin untuk menempuh jalur homeschooling untuk Abang J. Alhamdulillah, Allah sudah menetapkan hati saya dan suami. Dan sekarang, di sinilah kami berada. Abang J baru saja menyelesaikan semester pertamanya di sekolah online-nya dan saat ini masih liburan untuk menunggu awal masuk semester keduanya, serta pembagian raport.

Oke, itu sedikit cerita singkat tentang perkenalan kami dengan homeschooling dan keputusan kami untuk mengambil jalur tersebut. Lalu bagaimana dengan alasan-alasan dalam memilih jalur ini?

Pertama, keinginan untuk HS memang berawal datang dari saya. Suami saya hanya setuju-setuju saja, meskipun awalnya beliau merasa khawatir saya kelelahan atau tidak sanggup. Tapi alhamdulillah akhirnya beliau setuju dan menjadikan keputusan ini sebagai keputusan bersama, which means, apapun yang terjadi di depan, ya pasti akan kami selesaikan bersama.

Kedua, mengajar rupanya merupakan passion saya yang sempat terhempas, terpinggirkan, tapi tak pernah terlupakan. Pengalaman pertama saya mengajar adalah saat saya masih kuliah S1. Saat itu saya mengajar private Bahasa Inggris untuk anak-anak SD di lingkungan rumah saya. Lalu mengajar private untuk semua mata pelajaran SD untuk dua orang anak (kakak-beradik) yang rumahnya berbeda RW dengan saya. Sampai kemudian saya lulus S1 dan mengikuti Akta 4 lalu setelahnya saya mengajar Bahasa Inggris di sebuah sekolah alam setingkat SMP. Ditambah lagi, saya mengajar Bahasa Inggris untuk SD, SMP, dan SMA di sebuah lembaga bimbingan belajar.

Sepanjang perjalanan mengajar itu, saya merasa senang sekali dan nyaman. Iya, lelah memang. Tapi saya merasa puas sekali ketika saya bisa tampil di depan mereka dan mentransfer ilmu yang belum mereka ketahui. Masha Allah. Dari perasaan itulah saya berpikir: kenapa tidak anak-anak saya nantinya saya didik sendiri? Bukankah ilmu adalah amal jariyah? Tidakkah saya akan rugi jika amal jariyah saya dari anak-anak saya, kemudian saya berikan kepada orang lain untuk mendapatkannya? Sedangkan saya yang mengandung, melahirkan, menyusui, memberikan makan tubuh dan jiwa mereka, akan mendapatkan apa?  Dari situlah keputusan untuk HS semakin membulat dan membara dalam diri saya.

Ketiga, saya merasa tidak sanggup mencuci otak anak-anak saya, jika mereka terlanjur terpapar hal-hal negatif di luar lingkungan keluarga. Saat ini, sudah bukan rahasia lagi jika anak-anak se-usia SD sudah paham tentang pacaran, genk-genk-an, bahkan ajang pamer kekayaan seperti tas, sepatu, lokasi wisata, dan lain-lain. Atau bahkan, omongan anak-anak di luar sana sangaaat luas dan tak terbatas. Dan di antara omongan itu, ada bahasa yang baik, maupun yang tidak baik. Saya merasa ilmu parenting saya masih minim, bahkan kadar sabar saya masih sangaaat anjlok. Daripada saya mesti ‘mengobati’ mereka, bukankah sebaiknya saya kuatkan dulu daya tahan mereka? Jadi jika di kemudian hari mereka mendapatkan hal yang tidak baik, mereka sudah memiliki pondasi yang kuat dan saya harap mereka mampu konsisten dengan pendirian baik mereka.

Keempat, saya butuh anak-anak saya memiliki banyak teman dan bersosialisasi dengan banyak kalangan. Jika saya memasukkan anak-anak saya ke sekolah formal, waktu mereka akan habis di sekolah tertentu saja, dengan teman-teman yang hanya itu-itu saja. Saya merasa rugi dengan hal ini ketika saya bersekolah formal. Bahkan sampai saya kuliah pun (atau mungkin juga saat ini), saya masih merasa nyaman menghabiskan banyak waktu dengan orang yang itu-itu saja. Meskipun saya tidak memiliki keterbatasan dalam adaptasi atau pun komunikasi, tetapi untuk menjalin sebuah hubungan yang baru, biasanya saya agak malas, karena merasa sudah nyaman dengan yang sudah ada.

Kelima, saya ingin anak-anak saya tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah mereka. Saya ingin mereka menghabiskan jatah main mereka seeebanyak-banyaknya saat ini, sebelum mereka aqil baligh. Saya ingin mereka bertumbuh dan berkembang dengan santai, tanpa paksaan, dan tidak tergesa-gesa. Agar ketika mereka dewasa nanti, mereka bisa menghargai dan menikmati banyak hal. Saya ingin mereka lebih menilai sebuah proses daripada sebuah hasil.

Saya tumbuh dan berkembang dalam pengasuhan yang mungkin menggegas saya dalam berbagai situasi. Bahkan saya tumbuh dan berkembang dalam kondisi yang lebih mementingkan hasil dari pada proses. Akhirnya, beginilah saya terbentuk. Sebagai seorang dewasa yang masih seriiing kali terburu-buru dan tergesa-gesa. Bahkan untuk hadir pada janji atau acara apa pun secara on time, sampai saat ini saya masih amat sangat berjuang. Bukannya saya tidak pernah mempersiapkan segala sesuatu lebih awal atau lupa akan janji yang sudah saya buat; tetapi entah kenapa, sesuatu di alam bawah sadar saya–atau bisa juga disebut innerchild–sudah terbiasa dengan keadaan terburu-buru. Jadi jika keadaan santai, itu malah tidak normal rasanya.

Saya pun menyadari bahwa saya sebagai orang dewasa selalu melihat segala sesuatu dari hasilnya atau harganya (untuk berbagai benda). Saya merasa bahwa proses bukanlah hal yang penting untuk dihargai, karena saya butuh hasil yang sempurna. Perfeksionis. Terkadang hal ini baik. Tapi seringkali hal ini buruk sekali. Terlebih jika kita berhadapan dengan pasangan yang sudah banyak memberikan kebaikan dan kebahagiaan kepada kita, lalu karena sedikit kesalahannya yang tidak idealis, tiba-tiba seperti hilang semua hal baik yang sudah diberikannya. Parahnya, saya sering melakukan hal ini.

Well, sepertinya cukup sekian alasan saya mengenai pemilihan HS sebagai jalur pendidikan anak-anak kami. Untuk selanjutnya, Insha Allah, segala perjalanan HS keluarga kami akan saya tuangkan di blog ini.

Saya berharap tulisan-tulisan saya bisa memberikan manfaat untuk teman-teman di dunia maya ataupun dunia nyata. Jika ada yang ingin dibagi dengan saya, atau kritik dan masukan untuk kebaikan blog ini, silahkan DM saya di IG @sekolahrumahbunda.

 

Salam bahagia mengasuh dan mendidik,

Bunda Selvi @sekolahrumahbunda

Be the first to reply

Leave a Reply

Your email address will not be published.