Bismillah.
Sejujurnya, wacana mengenai ‘homeschooling’ sebagai salah satu metode pendidikan bagi anak-anak kami sudah bergelayut-gelayut di kepala saya sejak bertahun-tahun lalu. Mungkin saat itu ketika si sulung saya masih berusia sekitar 12 atau 13 bulan. Iya, dia masih sekecil itu, tetapi saya sudah berkeinginan untuk meng-HS-kannya. Tentunya juga berlaku untuk adik-adiknya kelak.

Sebenarnya apa sih, yang mendasari saya berpikiran demikian? Pertama, karena kelemahan saya sendiri. Saya merasa tidak mumpuni memiliki ilmu pengasuhan, pun ilmu pendidikan anak. That’s why, saya khawatir jika ‘melepaskan’ anak-anak saya untuk bersekolah formal di usia yang seharusnya mereka sebanyak-banyaknya dekat dengan saya, pengaruh luar akan lebih mendominasi dan saya tidak bisa ‘cuci otak’ mereka.
Kedua, karena saya tahu bahwa masa pengasuhan dan pendidikan saya secara pribadi kepada anak-anak itu berbatas waktu. Jika tolak ukurnya adalah aqil baligh, yaitu sekitar usia 14 tahun, maka hanya 14 tahun lah waktu saya untuk mengasuh dan mendidik mereka seutuhnya, tanpa embel-embel intervensi dari dunia luar. Karena di dalam Islam, pada fase 7 tahun berikutnya, si anak sudah mesti belajar menjadi ‘duta’ atau ‘utusan’; yang selanjutnya dia mesti siap menjadi seorang Khalifah. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa ujug-ujug menjadi khalifah jika sedari awal pondasinya tidak diperkuat dan disiapkan? Dan saya yakin, pihak yang mampu menyiapkan dan menguatkan pondasi tersebut adalah keluarga, terutama kedua orang tuanya.
Alasan ketiga yang mendasari saya memilih homeschooling adalah kekhawatiran saya dengan dunia pergaulan dan pendidikan anak saat ini. Entah hal itu mulai dari maraknya pronografi dan pornoaksi, kegiatan penyimpangan seksual, bahkan sampai (pada beberapa kasus) ketidakcakapan guru menghadapi tingkah pola anak-anak yang kadang ajaib. Untuk hal terakhir ini, bisa jadi karena si guru yang masih memiliki innerchild yang belum tuntas, atau karena minimnya ilmu pengasuhan yang dimilikinya.
Seiring berjalannya waktu, kira-kira sekitar setengah tahun terakhir ini, timbullah kegalauan dalam diri saya. Apa iya, si sulung benar-benar mesti di-HS-kan? Tidakkah nantinya saya malah justru mengebiri kemampuannya di dalam banyak hal jika saya memaksanya untuk HS? Apalagi dengan tingkah pola kesehariannya yang terkadang luar biasa hingga membuat saya mengelus dada, sanggupkah saya menghadapinya? Bukankah akan lebih mudah jika saya mengirimnya saja ke sekolah formal yang mahal, berkualitas, dan mempercayakan seutuhnya pendidikan si sulung di sana? Toh secara finansial, kami tidak masalah untuk membayar sekolah mahal sekalipun. Lagi pula masih ada adiknya, lalu saya pun lagi hamil anak ketiga, apakah saya sanggup menghandle pendidikannya di rumah?? Sendirian??
Pertanyaan-pertanyaan menggalaukan yang begitu berkecamuk dalam pikiran saya tersebut seakan tiada akhir dan tanpa menemukan jawaban. Terkadang saya merasa yakin untuk fiks menjalani HS bagi si sulung; tapi beberapa kali juga ketika saya bertemu dengan kelakuannya yang ajaib, saya sering merasa menyerah dan memilih untuk mengirimnya saja ke sekolah formal.
Sampai suatu hari, ketika saya sedang ngobrol via WA dengan salah satu teman SMA saya dan kami membicarakan tentang Kuttab, lalu dia cerita bahwa anaknya baru saja mengikuti Tes Kematangan Sekolah. Nah, dari situlah saya mendapatkan jawaban dari Allah. Oiya, TKS ya. Kenapa tidak saya coba lakukan untuk si sulung? Bukankah selain tes ini perlu sebagai parameter perkembangan anak; tes ini juga bisa sekalian menilai sudah sejauh mana hal-hal yang selama ini kami lakukan sebagai orang tua. Sudah cukupkah, atau masih kurang kah, atau mungkin berlebihan?
Singkat cerita, kami janjian dengan psikolog yang sudah saya tuju. Kami terlambat sekitar 1 jam dari jadwal yang ditentukan psikolog tersebut. Alhamdulillah tes yang dilakukan anak kami masih bisa dilakukan hingga selesai dan tidak mesti terpotong untuk dilanjutkan di lain hari.
Berdasarkan hasil tes kematangan sekolah itulah, saya mendapati bahwa benar, anak kami lebih cocok untuk bersekolah di sekolah alam, atau bahkan homeschooling. Kenapa demikian? Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, karena memang saya sehari-hari bersama anak-anak saya, gaya belajar si sulung ini lebih cenderung kepada kinestetik dan audio. Apapun yang dipelajarinya, akan lebih cepat dipahami jika dia bisa praktek langsung atau diceritakan/dibacakan/dijelaskan. Jika hanya harus duduk manis sambil melihat dan mendengarkan penjelasan, itu pasti akan membosankan baginya. Pun di sisi lain, berdasarkan hasil TKS-nya, ternyata kami sebagai orang tua masih ada beberapa PR stimulasi yang mesti dikejar untuk si sulung. Hal ini terutama berkaitan dengan motorik halus dan kestabilan emosinya.
Alhamdulillah, hasil pertemuan kami dengan psikolog tersebut cukup memberikan jawaban bagi kegalauan saya dalam beberapa bulan terakhir ini. Saat ini, saya dan suami yakin bahwa metode homeschooling adalah metode pendidikan yang tepat dan terbaik untuk anak kami. Seandainya ada sekolah alam yang bagus dan berkualitas dalam radius 2-3 KM dari rumah kami, mungkin kami akan mendaftarkan anak kami di sana. Tetapi sekolah alam yang saya incer, letaknya cukup jauh dan cukup menguras banyak hal (mulai dari waktu, energi, emosi, dan biaya) jika saya dan suami memaksakan ke sana.
Maka dari itu, bismillah, dengan memohon bimbingan dan petunjuk dari Allah, kami sekeluarga yakin untuk memulai homeschooling. Saat ini, kami tidak tahu dan tidak bisa membayangkan tantangan apa yang akan menghadang pilihan kami di depan nanti. Satu hal yang pasti, untuk saat ini kami hanya ingin fokus menyelesaikan PR-PR kami sebelumnya, sambil merencanakan sedikit demi sedikit perbaikan untuk ke depannya. Tantangan atau masalah apa pun yang kami hadapi nanti, kami yakin bahwa Allah akan memberikan ujian, sekaligus dengan kunci jawabannya. Bukankah memang begitu janji-Nya, kan?? Sesungguhnya bersama kesulitan itu, ada juga kemudahan. Masha Allah.
Jakarta, 19 Februari 2019.
Be the first to reply